Wednesday 22 May 2013

Media Literasi


Media Literasi

Media literasi merupakan suatu gerakan khalayak menuju khalayak yang melek informasi, mampu menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa. Namun, sebelum membahas lebih jauh tentang media literasi penulis terlebih dahulu membahas beberapa persoalan yang terkait dengan media literasi, yakni:

1.      Media massa sebagai konstruktor sosial
2.      Acara Televisi dalam Konteks Sosial

Media massa sebagai konstruktor sosial
Konstruksi Sosial Media Massa atas Realitas (Menuju Masyarakat Kapitalis)
Konstruksi sosial amat terkait dengan kesadaran manusia terhadap realitas sosial itu. Karena kesadaran adalah bagian yang paling penting dalam konstruksi sosial (Bungin, 2008: 25). Manusia sebagai makhluk sosial  secara tidak sadar ataupun melalui kesadarannya telah mengalami perubahan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Media massa merupakan komunikator terlembagakan yang berperan sebagai sarana publik untuk mendapatkan informasi baik berupa fakta ataupun hiburan semata. Komunikator terlembagakan merupakan salah satu ciri dari komunikasi massa. Komunikator dalam komunikasi massa bersifat terorganisir. Begitupun proses penyampaian pesan selalu melibatkan orang-orang juga peralatan yang mendukungnya.
Dalam konteks kekinian, peran orang-orang yang berada dalam media massa sangatlah sentral dan vital. Betapa tidak, seperti kita ketahui orang-orang yang berada di “singgasana tertinggi” media massa saat ini adalah orang-orang yang memiliki kepentingan baik untuk memperkaya dirinya ataupun golongannya secara politis maupun ekonomis.
Idealisme, profesionalisme, dan komersialisme media massa yang harusnya seimbang antara ketiganya, kini mulai mengalami pergeseran. Media massa saat ini cenderung mengarah kepada sifat komersil dengan mengabaikan berbagai aspek yang bersifat menguntungkan khalayak. Khalayak digiring untuk lebih tertarik menonton tayangan yang bersifat menghibur dengan mengesampingkan sisi-sisi edukasi, religi, maupun budaya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan rating suatu acara hiburan tersebut sehingga mendatangkan banyak keuntungan secara finansial dari pemasang iklan.
Iklan televisi khususnya selalu menampilkan produk dengan berbagai kelebihan dan di-“bungkus” sedemikian rupa agar khalayak yang melihat tayangan iklan tersebut tertarik untuk menggunakan atau sekedar mencobanya. Agar sebuah iklan komersial memiliki kemampuan mengkonstruksi gender atau kelas sosial dimasyarakat, maka lebih dahulu produk itu dikonstruksi sebagai barang yang mampu memberi konstribusi pembentukan kelas eksklusif di masyarakat (Bungin, 2008:26). Suatu produk harus bisa menjadi bagian dari berbagai kelas di masyarakat. Media massa yang paling optimal untuk secara luas dan akurat mengkonstruksi image masyarakat adalah televisi. Karena televisi juga merupakan bagian dari masyarakat eksklusif, urbanis, modernis, dan kosmopolitan.
Televisi merupakan salah satu media massa yang lahir akibat perubahan sosial. Namun perlu digarisbawahi, perubahan sosial disini justru lebih didominasi oleh ide-ide Marxisme yang dituangkan dalam instrumen-instrumen kapitalis. Sehingga masyarakat yang menikmati tayangan televisi secara disadari maupun tidak, telah digiring kearah konsumerisme dan hedonisme. Tentu hal ini dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dan melupakan darimana masyarakat itu berasal.
Hegemoni penguasa ekonomi dalam proses konstruksi sosial kearah masyarakat yang konsumtif tidak mementingkan bagaimana nanti masyarakat jadinya. Namun yang mereka pentingkan hanyalah bagaimana caranya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Tentu hal ini lambat laun akan merusak suatu bangsa baik dari segi ekonomi ataupun dari segi moralitas. masyarakat akan terus berada dalam kebutuhan konsumetimesnya sendiri karena iklan menciptakan kebutuhan dan informasi. Sedangkan kebutuhan dan informasi itu   menciptakan iklan-iklan baru.
Perkembangan dunia pertelevisian beberapa dekade ini tentu lah sangat menarik perhatian pemilik modal. Terhitung lebih dari sepuluh stasiun televisi swasta baru yang bemunculan dari tahun 90an sampai sekarang. Hal ini juga menjadi perhatian penting bagi para pemasang iklan dimana mereka harus membayar lebih untuk menayangkan iklan produk perusahaan mereka, karena mereka tidak hanya menayangkan iklan produk mereka di satu stasiun televisi saja.  Jika iklan produk suatu perusahaan hanya ditayangkan pada satu stasiun televisi saja maka tentu perusahaan tersebut akan kalah bersaing dengan perusahaan lain yang memasang iklan di beberapa stasiun televisi. Hal ini juga sebagai respon terhadap konsekuensi masyarakat yang semakin terfragmentasi (Wirodono, 2005:93).
Dalam dunia kompetisi media televisi melibatkan setidaknya tiga aktor utama, yakni acara TV (stasiun televisi & Production House), iklan (industri periklanan & pemasang iklan), dan rating (lembaga rating & masyarakat). Namun, dalam dunia industri, hubungan dengan masyarakat seyogyanya tidak terjalin dengan baik atau bahkan tidak terjalin. Masyarakat hanya dianggap sebagai angka-angka, hitungan, proyeksi, dugaan, dan hanya berada dalam dimensi verbal yang tidak substansial.

Acara Televisi dalam Konteks Sosial
Masyarakat tidak dapat lepas dari berbagai bentuk informasi terutama saat ini arus informasi didominasi oleh media massa khususnya televisi. Informasi sudah menjadi kebutuhan manusia yang esensial untuk mencapai tujuan (Kuswandi 1996: 68). Karena melalui informasi manusia dapat mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarnya, menambah pengetahuannya, sekaligus mengetahui identitasnya dan kedudukannya dalam masyarakat.
Namun beberapa dekade ini terjadi pergeseran interptretasi media massa terhadap masyarakat yang hanya dianggap sebagai pasar yang mempunyai potensi serta dipolitisir sedemikian rupa dan menjadikan masyarakat sebagai penonton yang setia/penurut. Media massa seyogyanya berada ditengah-tengah masyarakat dan pemerintah dan berperan sebagai sarana pembangunan.
Informasi dari media massa khususnya televisi sebagai salah satu sumber pengetahuan bagi masyarakat telah terkontaminasi oleh kepentingan orang-orang yang mengaku sebagi pemilik modal. Meskipun tidak secara langsung mereka menampakkan wujud dan tujuannya, namun hal tersebut dapat dilihat dari berbagai tayangan televisi tersebut.
Informasi yang dikemas melalui bentuk-bentuk pencitraan politik dalam berbagai berita dan acara lainnya menggiring khalayak kearah yang diinginkan oleh pemilik modal. karena seperti kita ketahui beberapa stasiun televisi swasta saat ini dikuasai oleh politikus negeri ini. Bahkan selintingan terdengar bahwa bila ingin menguasai negeri ini maka harus terlebih dahulu menguasai media massa.
Idealnya, televisi sebagaimana media massa lainnya berperan sebagai alat informasi, hiburan, kontrol sosial, dan penghubung wilayah secara geografis (Kuswandi, 1996: 99).
Isi pesan yang disampaikan oleh televisi tentu diinterpretasikan berbeda oleh setiap khalayak tergantung pada kemampuan khalayak menginterpretasi pesan dan tergantung dari sudut pandang mana yang diambil.

Dampak acara televisi:
1.      Dampak kognitif
Yaitu dampak yang hanya berada di ranah pengetahuan saja, khalayak hanya mngetahui apa yang ditonton melalui tayangan televisi.
2.      Dampak afektif
Yaitu dampak yang dapat menarik rasa simpati khalayak dan mulai mempunyai kecenderungan terhadap apa yang ditontonya. Dalam hal ini ada kecenderungan untuk melakukan peniruan.
3.      Dampak psikomotorik
Yaitu proses penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam isi pesan tayangan televisi dalam kehidupan nyata.

Namun pengelolaan dan perencanaan acara tayangan televisi perlu diperhatikan, karena pada kenyataannya tayangan yang awalnya ditujukan untuk orang-orang dewasa bisa saja ditonton oleh anak-anak. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak-anak tersebut yang notabenya sebagai generasi penerus bangsa.

Bila kenyataan ini terus berlangsung maka tidak lama lagi negeri ini akan menjadi negeri kapitalis tanpa moralitas dari generasi penerus karena asupan yang kita terima lebih condong kearah negatif. Tentu hal ini perlu sebuah penyelesaian yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.
Peran orang tua tidak dapat dilepaskan untuk menangani masalah yang kompleks ini. Namun tidak cukup peran keluarga saja, diperlukan suatu gerakan yang mendorong agar masyarakat lebih peka menganalisis informasi yang diberikan oleh media massa, gerakan atau upaya ini dinamakan media literasi.

Media Literasi
Media massa yang seharusnya berada ditengah-tengah masyarakat saat ini telah mengalami persegeran nilai dimana media massa saat ini lebih condong kearah pemunculan berbagai kepentingan pemilik modal dan kearah yang tidak seharusnya.
Teori proses selektif yang digagas oleh Joseph Klapper pada tahun 1960 perlu ditinjau kembali karena menurut teori tersebut masyarakat cenderung melakukan proses pemilihan terhadap terpaan pesan media massa (Ardianto, dkk, : 2007: 61). Namun teori ini tidak dapat ditelan mentah-mentah, karena kita juga harus memperhatikan konteks kekinian telebih dahulu.
Masyarakat kita yang saat ini digiring oleh media kearah konsumerisme, kapitalisme, dan politisme melalui sajian tayangan-tayangan perlu kembali memahami nilai-nilai pancasila sebagai landasan ideologi. Bila masyarakat sadar akan hal ini, tentu masyarakat dapat memilah dan memilih tayangan yang seharusnya mereka tonton.
Tetapi lagi-lagi media tidak memberikan ruang untuk hal ini, masyarakat seakan-akan di-ninabobo-kan oleh tayangan-tayangan yang bertopeng hiburan.
Media literasi merupakan suatu upaya yang mengajak masyarakat agar lebih melek informasi.
Elvinaro Ardianto, dkk dalam bukunya Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, menjabarkan  definisi tentang media literasi. Media literasi menurutnya adalah:
1.      Kemampuan untuk “membaca” televisi dan media massa lainnya. Literasi media mengajarkan orang untuk dapat mengakses, menganalisis dan memproduksi media.
2.      Merupakan proses analisis dan pembelajaran atas pesan-pesan yang disampaikan melalui media, baik cetak, audio, video ataupun multimedia.
3.      Kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengomunikasikan pesan-pesan dalam berbagai bentuknya; ekspansi konseptualisasi tradisional yang bersifat literer yang meliputi berbagai bentuk simboliknya.
4.      Kemampuan untuk dapat memisah-misahkan dan menganalisis pesan-pesan yang disampaikan, serta hiburan yang dijual kepada masyarakat setiap harinya.
5.      Kemampuan untuk berpikir secara kritis dalam meghadapi berbagai jenis media dari video musik dan web, hingga penempatan pada sebuah produk pada sebuah film.
6.      Literasi media berarti mampu mengartikan, mengerti, mengevaluasi, dan menulis hal-hal yang disampaikan oleh berbagai bentuk media.
7.      Mampu membaca, mengevaluasi,dan membuat teks, citra/gambar, serta suara atau kombinasi dari berbagai elemen tadi.

Dapat disimpulkan bahwa media literasi merupakan satu kemampuan dimana khalayak dapat mengkritisi, menganalisis, dan mengkaji isi pesan yang disampaikan media. Karena seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa tidak semua tayangan dalam media massa berpihak untuk kepentingan khalayak.
Hal ini tersandung oleh sesuatu yang sangat mendasar, mengingat media literasi baik disadari ataupun tidak, hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan menginterpretasi pesan dengan baik.
Tetapi disini kita juga tidak boleh memandang sebelah mata terhadap masyarakat kita sendiri. Bisa saja karena kejenuhan akibat tayangan-tayangan yang diberikan media massa yang lebih banyak mengandung unsur negatif dapat memicu masyarakat untuk melakukan media literasi. Sejumlah pakar menyebutkan, melakukan media literasi dapat menciptakan generasi literat, yang merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Masyarakat akan cenderung lebih kritis terhadap informasi yang diterima, sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar (Ardianto, dkk, 2007: 220).

Fungsi Media Literasi yang Individualis kearah Media Literasi yang Universal
Berbicara media literasi berarti berbicara tentang kemampuan menginterpretasi isi pesan media massa dari berbagai individu. Bila diperhatikan media literasi tidak belum bersifat universal tetapi masih bersifat parsial. Hal ini perlu diselesaikan dengan solusi pemecahan bagaimana hasil media literasi yang berupa opini faktual dan rasional dapat bersifat universal. Pemecahan yang paling tepat menurut penulis adalah dengan adanya suatu sarana publik yaitu media publik dalam arti sesungguhnya.
Media literasi akan memunculkan banyak opini dari berbagai macam khalayak yang menginterpretasi isi pesan dari media mindstream yang kemudian berbagai opini tersebut diwadahi oleh media publik. Hal tersebut dapat memberikan feedback langsung kepada media. Berbeda dengan isi pesan yang tidak diinterpretasi. Timbal balik dapat tertunda dan dilakukan oleh lembaga survey yang belum tentu berada dipihak khalayak.
Artinya media literasi dapat berjalan sesuai hittoh-nya apabila terdapat sebuah media publik yang merupakan bentukkan publik dan bersifat mewadahi kepentingan publik secara universal.
Namun hal ini kita kembalikan kepada masyarakat kita saat ini. Kenyataannya saat ini masih banyak orang-orang yang menggunakan media untuk kepentingan pragmatis.
Diperlukan suatu keberanian untuk membuka ruang publik yang selebar-lebarnya agar masyarakat tidak semakin terbawa oleh arus yang sangat merugikan bagi masyarakat itu sendiri. Gerakan atau upaya seperti ini hendaknya disadari oleh semua elemen masyarakat ataupun pemerintah bila ingin menjadi masyarakat yang literat.




Daftar Pustaka

Ardianto, Elvinaro, dkk. 2010. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana.
Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi. Jakarta: Rineka Cipta.
McQuail, Denis. 1994. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Wirodono, Sunardian. 2005. Matikan TV-Mu: Teror Media Televisi di Indonesia. Yogyakarta: Resist

No comments:

Post a Comment